Diberdayakan oleh Blogger.

Find Us On Facebook

Jumat, 31 Mei 2019

PANDUAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA









  

UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan pada Pasal 17 Ayat (3) menyebutkan bahwa pendidikan dasar, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang (a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; (b) berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; (c) sehat, mandiri, dan percaya diri; (d) toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggungjawab. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa tujuan pendidikan di setiap jenjang, termasuk SMP sangat berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik.

Pendidikan karakter tidak saja merupakan tuntutan undang-undang dan peraturan pemerintah, tetapi juga oleh agama. Setiap Agama mengajarkan karakter atau akhlak pada pemeluknya. Dalam Islam, akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajarannya yang memiliki kedudukan yang sangat penting, di samping dua kerangka dasar lainnya, yaitu aqidah dan syariah. Nabi Muhammad Saw dalam salah satu sabdanya mengisyaratkan bahwa kehadirannya di muka bumi ini membawa misi pokok untuk menyempurnakan akhlak manusia yang mulia. Akhlak karimah merupakan sistem perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam melalui nash al-Quran dan Hadis.

Sifat-sifat khusus (akhlak) yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw maupun para nabi dan rasul yang lain adalah: (1) Shiddiq, yang berarti jujur. Nabi dan rasul selalu jujur dalam perkataan dan perilakunya; (2) Amanah, yang berarti dapat dipercaya dalam kata dan perbuatannya; (3) Tabligh, yang berarti menyampaikan apa saja yang diterimanya dari Allah (wahyu) kepada umat manusia; (4) Fathanah, yang berarti cerdas atau pandai, sehingga dapat mengatasi semua permasalahan yang dihadapinya; (5) Ma’shum, yang berarti tidak pernah berbuat dosa atau maksiat kepada Allah. Sebagai manusia bisa saja nabi berbuat salah dan lupa, namun lupa dan kesalahannya selalu mendapat teguran dari Allah sehingga akhirnya dapat berjalan sesuai dengan kehendak Allah.

Agama Hindu juga memandang penanaman karakter kepada anak sangat penting. Kitab suci Veda menyatakan: “Saudara laki-laki seharusnya tidak irihati terhadap kakak dan adik-adiknya laki-laki dan perempuan, dan melakukan tugas-tugas yang sama yang dibebankan kepadanya. Hendaknya berbicara mesra di antara mereka” (Atharvaveda: III,30.3). “Putra dan orang tuanya yang saleh, gagah berani dan bercahaya bagaikan api menyinari bumi dengan perbuatan-perbuatannya yang mulia” (Rgveda I.160.3).   

Ajaran suci Veda dan susastra Hindu lainnya memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam  hal ini, umat Hindu meyakini bahwa karakter seorang anak sangat pula ditentukan oleh kedua orang tuanya, lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan dengan proses kelahiran seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka karakter seseorang dapat dilihat pada hari kelahirannya yang disebut Daúavara (hari yang sepuluh), yaitu: “pandita, pati, sukha, duhkha, úrì, manuh, mànuûa, ràja, deva, dan rakûaûa”. Demikian pula pemberian nama kepada seorang anak dikaitkan pula dengan karakter anak sesuai hari Daúavara-nya.

Agama Kristen dan Katholik memandang penting karakter seseorang. Seperti terlihat pada 2 Tesalonika 3 : 6 – 12. Alkitab memberi contoh berbagai macam profesi seperti: Abraham sebagai pengusaha, Yusuf sebagai kepala pelayanan & perdana menteri, Samuel sebagai hakim, Daud sebagai gembala & raja, Petrus sebagai nelayan, Lidia sebagai pedagang, Paulus dan Akhila sebagai tukang tenda, Lukas sebagai dokter, Yesus sebagai tukang kayu.

Ketika seorang bekerja berarti dia membentuk tanggungjawab atas dirinya sendiri. Rasul Paulus bekerja sebagai seorang tukang tenda untuk memenuhi tanggungjawabnya terhadap dirinya sendiri, Tuhan dan jemaat. Jika malas bekerja kita harus belajar dari semut yang bertanggungjawab kepada koloninya. Kita juga bisa belajar dari seekor burung yang sepanjang hari mencari nafkah untuk anak-anaknya di sarang (Amsal 6 : 6).
Tempat kerja adalah wadah yang cocok bagi kita untuk melatih kejujuran. Jujur berarti melakukan semuanya sebagaimana seharusnya.

Agama Buddha juga sangat menekankan pentingnya karakter. Seseorang hendaknya tidak berbuat jahat, menambah kebaikan-kebaikan, menyucikan hati dan pikiran  (Dhammapada: 183). Kebencian tak akan berakhir jika dibalas dengan kebencian. Kebencian berakhir jika dibalas dengan cinta kasih (Dhammapada: 183). Sopan santun wajib diterapkan kepada orang tua, guru, keluarga, sahabat dan kawan-kawan, atasan atau majikan, dan pelayan/pekerja (Sutta Pitaka, Digha Nikaya 31). Terdapat dua dharma sebagai pelindung dunia (lokapala-dhamma), yakni Hiri dan Ottappa. Hiri adalah malu berbuat jahat dan Ottappa adalah takut akibat berbuat jahat. Jika setiap manusia di dunia ini dapat mengamalkan dua ajaran ini, maka dunia akan damai (Anguttara Nikaya I:51). Empat sifat luhur, yakni cinta kasih (metta), belas kasih (karuna), simpati (mudita), dan batin seimbang (upekkha). Digha Nikaya II (196), III (220). Dhammasangani (262), Visudhimagga (320).

Hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000) menunjukkan bahwa, kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan ditentukan hanya sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Soft skill merupakan bagian keterampilan dari seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan atau sensitivitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Mengingat soft skill lebih mengarah kepada keterampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata namun tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa dirasakan adalah perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama, membantu orang lain dan lainnya. Soft skill sangat berkaitan dengan karakter seseorang. 

Menyadari pentingnya karakter, dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan  di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah  sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian  peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

AGAR PESERTA DIDIK MEMILIKI KARAKTER MULIA SESUAI NORMA-NORMA AGAMA, HUKUM, TATA KRAMA, BUDAYA, DAN ADAT ISTIADAT, MAKA PERLU DILAKUKAN PENDIDIKAN KARAKTER SECARA MEMADAI.

Tujuan pendidikan di SMP, termasuk pengembangan karakter, semestinya dapat dicapai melalui pengembangan dan implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP). Di dalam SNP telah secara jelas dijabarkan standar kompetensi lulusan dan materi yang harus disampaikan kepada peserta didik. Karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Yang menjadi masalah adalah bahwa selama ini pengembangan dan implementasi KTSP masih cenderung terpusat pada pengembangan kemampuan intelektual.

Pada dasarnya telah dilakukan sejak lama, antara lain melalui integrasi IMTAQ ke dalam pembelajaran, Pendidikan Budi Pekerti, P4 (Pedoman Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) dan program-program lainnya. Namun demikian pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum secara optimal pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,  jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.  Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.

Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.

PENDIDIKAN KARAKTER HARUS DIINTEGRASIKAN KE DALAM PEMBELAJARAN PADA SETIAP MATA PELAJARAN. MATERI PEMBELAJARAN PADA SETIAP MATA PELAJARAN PERLU DIBERI MUATAN DAN/ATAU DIKAITKAN DENGAN NILAI-NILAI KARAKTER DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN DIPILIH UNTUK MEMFASILITASI PESERTA DIDIK MELAKSANAKAN/ MENGINTERNALISASI NILAI-NILAI TERSEBUT. DENGAN DEMIKIAN, PEMBELAJARAN NILAI-NILAI KARAKTER TIDAK HANYA PADA TATARAN KOGNITIF, TETAPI MENYENTUH PADA INTERNALISASI.

Kegiatan  pembinaan kesiswaan yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu wadah yang potensial untuk pendidikan karakter. Kegiatan  pembinaan kesiswaan merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan pembinaan kesiswaan siswa dapat difasilitasi mengembangkan karakter mereka.

Pendidikan karakter di sekolah juga harus dilaksanakan melalui pengelolaan sekolah. Ketika semua urusan sekolah dari hari ke hari dikelola dengan dilandasi oleh pelaksanaan nilai-nilai karakter, sekolah akan menjadi komunitas yang berkarakter. Sekolah akan menjadi tempat di mana nilai-nilai karakter dilaksanakan dan sekolah akan menjadi tempat bagi setiap peserta didik membiasakan berperilaku berkarakter.



        Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. 

        Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.




Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta.  Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.

Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.



Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui terutama melalui pencapaian butir-butir Standar Kompetensi Lulusan oleh peserta didik yang meliputi sebagai berikut:

1.     Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2.     Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri; 
3.     Menunjukkan sikap percaya diri;
4.     Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5.     Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
6.     Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
7.     Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8.     Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9.     Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10.  Mendeskripsikan gejala alam dan sosial; 
11.  Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13.  Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
16.  Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun; 
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21.  Memiliki jiwa kewirausahaan.

Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan  karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.



  Dasar hukum dalam pembinaan pendidikan karakter antara lain:
  1. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
  5. Permendiknas No 39 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kesiswaan
  6. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
  7. Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan
  8. Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional 2010-2014
  9. Renstra Kemendiknas Tahun 2010-2014
  10. Renstra Direktorat Pembinaan SMP Tahun 2010 - 2014






Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat (1) menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi yang maksimal dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter secara terpadu di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan pemanfaatannya agar peningkatan mutu hasil belajar, terutama pembentukan karakter peserta didik sesuai tujuan pendidikan dapat dicapai.


Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi, dan keterampilan. Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.

Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.

Berdasarkan pembahasan di muka dapat ditegaskan bahwa karakter merupakan perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Orang yang perilakunya sesuai dengan norma-norma disebut insan berkarakter mulia.

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, dan nilai-nilai lainnya. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut.


B.      Pengertian Pendidikan Karakter

Menurut Elkind & Sweet (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai: the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.

Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini antara lain mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka  tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan  pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian  yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik  (physical and kinaesthetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan karakter.  Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)  mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi tersebut didasarkan pada tiga unsur  moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni:  perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.



Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika akademik, prinsip-prinsip HAM, SKL SMP, dan SK/KD semua mata pelajaran SMP, telah teridentifikasi lebih dari 80 butir nilai karakter yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan (1) Tuhan Yang Maha Esa, (2) diri sendiri, (3) sesama manusia, dan (4) lingkungan, serta (5) kebangsaan. Namun demikian, penanaman semua nilai tersebut merupakan hal yang sangat sulit. Oleh karena itu, pada tingkat SMP dipilih 24 nilai karakter utama yang disarikan dari butir-butir SKL SMP (Permen Diknas nomor 23 tahun 2006), SK/KD (Permen Diknas nomor 22 tahun 2006), dan jiwa kewirausahaan. Berikut adalah daftar 24 nilai utama yang dimaksud dan deskripsi ringkasnya.

1.       Kereligiusan
Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.

2.       Kejujuran
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain.
3.       Kecerdasan
Kemampuan seseorang dalam melakukan suatu tugas secara cermat, tepat, dan cepat.

4.       Ketangguhan
Sikap dan perilaku pantang menyerah atau tidak pernah putus asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehingga mampu mengatasi kesulitan tersebut dalam mencapai tujuan.

5.       Kedemokratisan
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

6.       Kepedulian
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah dan memperbaiki penyimpangan dan kerusakan (manusia, alam, dan tatanan) di sekitar dirinya.

7.       Kemandirian
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8.       Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
Berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk  menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari  apa yang telah dimiliki.

9.       Keberanian mengambil risiko
Kesiapan menerima risiko/akibat yang mungkin timbul dari tindakan nyata.

10.   Berorientasi pada tindakan
Kemampuan untuk mewujudkan gagasan menjadi tindakan nyata.

11.   Berjiwa kepemimpinan
Kemampuan mengarahkan dan mengajak individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dengan berpegang pada asas-asas kepemimpinan berbasis budaya bangsa.

12.   Kerja keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan  guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.

13.   Tanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan YME.

14.   Gaya hidup sehat
Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.

15.   Kedisiplinan 
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

16.   Percaya diri
Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.

17.    Keingintahuan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

18.   Cinta ilmu
Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan  yang tinggi terhadap pengetahuan.

19.   Kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.

20.   Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial
Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan  kepentingan umum.

21.   Menghargai  karya dan prestasi orang lain
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.

22.   Kesantunan
Sifat yang halus dan baik  dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.

23.   Nasionalisme
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.

24.   Menghargai keberagaman
Sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.

Di antara butir-butir nilai tersebut di atas, enam butir dipilih sebagai nilai-nilai pokok sebagai pangkal tolak pengembangan, yaitu:
1.       Kereligiusan
2.       Kejujuran
3.       Kecerdasan
4.       Ketangguhan
5.       Kedemokratisan
6.       Kepedulian

Keenam butir nilai tersebut ditanamkan melalui semua mata pelajaran dengan intensitas penanaman lebih dibandingkan penanaman nilai-nilai lainnya.




Pengembangan atau pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah dan stakeholders-nya untuk menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah. Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik (insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga berperan membentuk karakter anak melalui orang tua dan lingkungannya.

Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan, pelaksanaan, dan kebiasaan. Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling  atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral).

Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral, pengetahuan tentang nilai-nilai moral, penentuan sudut pandang, logika moral, keberanian mengambil sikap, dan pengenalan diri. Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri, percaya diri, kepekaan terhadap derita orang lain, cinta kebenaran, pengendalian diri, kerendahan hati. Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi, keinginan, dan kebiasaan.

Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional (lihat Diagram 1).

Diagram 1.  Keterkaitan komponen moral dalam pembentukan karakter


Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter. Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukan karena dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk mengharagi nilai kejujuran itu sendiri. Oleh karena itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan. Komponen ini dalam pendidikan karakter disebut dengan “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat kebaikan. Pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling), dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham. Dengan demikian jelas bahwa karakter dikembangkan melalui tiga langkah, yakni mengembangkan moral knowing, kemudian moral feeling, dan moral action. Dengan kata lain, makin lengkap komponen moral dimiliki manusia, maka akan makin membentuk karakter yang baik atau unggul/tangguh.

Pengembangan karakter sementara ini direalisasikan dalam pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran lainnya, yang program utamanya cenderung pada pengenalan nilai-nilai secara kognitif, dan mendalam sampai ke penghayatan nilai secara afektif. Menurut Mochtar Buchori (2007), pengembangan karakter seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut Conatio, dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini disebut langkah konatif. Pendidikan karakter mestinya mengikuti langkah-langkah yang sistematis, dimulai dari pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ki Hajar Dewantoro menterjemahkannya dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.


Pendidikan karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.     Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
2.     Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku
3.     Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
4.     Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
5.     Memberi kesempatan kpeada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik
6.     Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses
7.     Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik
8.     Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama
9.     Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter
10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter
11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter posisitf dalam kehidupan peserta didik.


Pendidikan karakter secara terpadu di SMP dilaksanakan melalui proses pembelajaran, manajamen sekolah, dan kegiatan pembinaan kesiswaan.




1.    Pendidikan karakter secara terpadu dalam pembelajaran

Pendidikan karakter secara terpadu di dalam pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.

Dalam struktur kurikulum SMP, pada dasarnya setiap mata pelajaran memuat materi-materi yang berkaitan dengan karakter. Secara subtantif, setidaknya terdapat dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia, yaitu pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai. Integrasi pendidikan karakter pada mata-mata pelajaran di SMP mengarah pada internalisasi nilai-nilai di dalam tingkah laku sehari-hari melalui proses pembelajaran dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian.

2.    Pendidikan karakter secara terpadu melalui manajemen sekolah
Menurut H. Koontz & O’Donnel (Aldag, 1987), manajemen berhubungan dengan pencapaian suatu tujuan yang dilakukan melalui dan dengan orang lain. Hampir senada dengan pendapat tersebut, Siregar (1987) menyatakan bahwa manajemen adalah proses yang membeda-bedakan atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan pelaksanaan dan pengendalian, dengan memanfaatkan ilmu dan seni, agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Manajemen juga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki tujuan bersama dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
  
Dalam manajemen terkandung pengertian pemanfaatan sumberdaya untuk tercapainya tujuan. Sumberdaya adalah unsur-unsur dalam manajemen, yaitu manusia (man), bahan (materials), mesin/peralatan (machines), metode/cara kerja (methods), modal uang (money), informasi (information). Sumberdaya bersifat terbatas, sehingga tugas manajer adalah mengelola keterbatasan sumber daya secara efisien dan efektif agar tujuan tercapai.
  
Proses manajemen adalah proses yang berlangsung terus menerus, dimulai dari: membuat perencanaan dan pembuatan keputusan (planning); mengorganisasikan sumberdaya yang dimiliki (organizing); menerapkan kepemimpinan untuk menggerakkan sumberdaya (actuating); melaksanakan pengendalian (controlling). Proses di atas sering disebut dengan pendekatan Barat dengan konsep POAC (Planning-Organizing-Actuating-Controlling), berbeda dengan pendekatan Jepang yang dikenal dengan pendekatan PDCA (Plan-Do-Check-Action). Dalam konteks dunia pendidikan, yang dimaksudkan dengan manajemen pendidikan/sekolah adalah suatu proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan dalam upaya untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan itu sendiri.

Berdasarkan pada uraian sebelumnya, keterkaitan antara nilai-nilai perilaku dalam komponen-komponen moral karakter (knowing, feeling, dan action) terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, kebangsaan, dan keinternasionalan membentuk suatu karakter manusia yang unggul (baik). Penyelenggaraan pendidikan karakter memerlukan pengelolaan yang memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan adalah bagaimana pembentukan karakter dalam pendidikan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan secara memadai.

Sebagai suatu sistem pendidikan, maka dalam pendidikan karakter juga terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang selanjutnya akan dikelola melalui bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Unsur-unsur pendidikan karakter yang akan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan tersebut antara lain meliputi: (a) nilai-nilai karakter kompetensi lulusan, (b) muatan kurikulum nilai-nilai karakter, (c) nilai-nilai karakter dalam pembelajaran, (d)  nilai-nilai karakter pendidik dan tenaga kependidikan, dan (e) nilai-nilai karakter  pembinaan kepesertadidikan.

Beberapa contoh bentuk kegiatan pendidikan karakter yang terpadu dengan manajemen sekolah antara lain: (a) pelanggaran tata tertib yang berimplikasi pada pengurangan nilai dan hukuman/pembinaan, (b) penyediaan tempat-tempat pembuangan sampah, (c) penyelenggaraan kantin kejujuran, (d) penyediaan kotak saran, (d) penyediaan sarana ibadah dan pelaksanaan ibadah, misalnya: shalat dhuhur berjamaah, (e) Salim-taklim (jabat tangan) setiap pagi saat siswa memasuki gerbang sekolah, (f) pengelolaan & kebersihan ruang kelas oleh siswa, dan bentuk-bentuk kegiatan lainnya.

3.    Pendidikan karakter secara terpadu melalui kegiatan pembinaan kesiswaan

Kegiatan  pembinaan kesiswaan adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah.  

Visi kegiatan pembinaan kesiswaan adalah berkembangnya potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik  yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Misi kegiatan pembinaan kesiswaan adalah (1) menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka; (2) menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan peserta didik mengeskpresikan  diri secara bebas melalui kegiatan mandiri dan atau kelompok.

Fungsi Kegiatan  pembinaan kesiswaan meliputi:
a.   Pengembangan, yaitu fungsi kegiatan  pembinaan kesiswaan untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka.
b.   Sosial, yaitu fungsi kegiatan pembinaan kesiswaan untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.
c.   Rekreatif, yaitu fungsi kegiatan  pembinaan kesiswaan untuk mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.
d.   Persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan  pembinaan kesiswaan untuk mengembangkan kesiapan karir peserta didik.

Selanjutnya fungsi Kegiatan  pembinaan kesiswaan meliputi:

a.   Individual, yaitu prinsip kegiatan  pembinaan kesiswaan yang sesuai dengan potensi, bakat dan minat peserta didik masing-masing.
b.   Pilihan, yaitu prinsip kegiatan  pembinaan kesiswaan yang sesuai dengan keinginan dan diikuti secara sukarela peserta didik.
c.   Keterlibatan aktif, yaitu prinsip kegiatan  pembinaan kesiswaan yang menuntut keikutsertaan peserta didik secara penuh.
d.   Menyenangkan, yaitu prinsip kegiatan  pembinaan kesiswaan dalam suasana yang disukai dan mengembirakan peserta didik.
e.   Etos kerja, yaitu prinsip kegiatan  pembinaan kesiswaan yang membangun semangat peserta didik untuk bekerja dengan baik dan berhasil.
f.    Kemanfaatan sosial, yaitu prinsip kegiatan  pembinaan kesiswaan yang dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat.


0 comment:

Posting Komentar