UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
Penyelenggaraan Pendidikan pada Pasal 17 Ayat (3)
menyebutkan bahwa pendidikan dasar, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)
bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang (a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b)
berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; (b) berilmu, cakap, kritis, kreatif,
dan inovatif; (c) sehat, mandiri, dan percaya diri; (d) toleran, peka sosial,
demokratis, dan bertanggungjawab. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa tujuan pendidikan di setiap jenjang, termasuk SMP sangat berkaitan dengan pembentukan
karakter peserta didik.
Pendidikan karakter tidak saja merupakan tuntutan
undang-undang dan peraturan pemerintah, tetapi juga oleh agama. Setiap Agama mengajarkan karakter atau akhlak
pada pemeluknya. Dalam Islam, akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka
dasar ajarannya yang memiliki kedudukan yang sangat penting, di samping dua
kerangka dasar lainnya, yaitu aqidah dan syariah. Nabi Muhammad Saw dalam salah
satu sabdanya mengisyaratkan bahwa kehadirannya di muka bumi ini membawa misi
pokok untuk menyempurnakan akhlak manusia yang mulia. Akhlak karimah merupakan
sistem perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam melalui nash al-Quran dan Hadis.
Sifat-sifat khusus (akhlak) yang dimiliki oleh
Nabi Muhammad Saw maupun para nabi dan rasul yang lain adalah: (1) Shiddiq,
yang berarti jujur. Nabi dan rasul selalu jujur dalam perkataan dan
perilakunya; (2) Amanah, yang berarti dapat dipercaya dalam kata dan
perbuatannya; (3) Tabligh, yang berarti menyampaikan apa saja yang
diterimanya dari Allah (wahyu) kepada umat manusia; (4) Fathanah, yang
berarti cerdas atau pandai, sehingga dapat mengatasi semua permasalahan yang
dihadapinya; (5) Ma’shum, yang berarti tidak pernah berbuat dosa atau
maksiat kepada Allah. Sebagai manusia bisa saja nabi berbuat salah dan lupa,
namun lupa dan kesalahannya selalu mendapat teguran dari Allah sehingga
akhirnya dapat berjalan sesuai dengan kehendak Allah.
Agama Hindu juga memandang
penanaman karakter kepada anak sangat penting. Kitab suci Veda menyatakan:
“Saudara laki-laki seharusnya tidak irihati terhadap kakak dan adik-adiknya
laki-laki dan perempuan, dan melakukan tugas-tugas yang sama yang dibebankan kepadanya.
Hendaknya berbicara mesra di antara mereka” (Atharvaveda: III,30.3). “Putra dan
orang tuanya yang saleh, gagah berani dan bercahaya bagaikan api menyinari bumi
dengan perbuatan-perbuatannya yang mulia” (Rgveda I.160.3).
Ajaran suci Veda dan susastra
Hindu lainnya memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan kegiatan
yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam hal ini, umat Hindu meyakini
bahwa karakter seorang anak sangat pula ditentukan oleh kedua orang tuanya,
lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan dengan proses kelahiran
seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka karakter seseorang dapat dilihat
pada hari kelahirannya yang disebut Daúavara (hari yang sepuluh), yaitu:
“pandita, pati, sukha, duhkha, úrì, manuh, mànuûa, ràja, deva, dan rakûaûa”.
Demikian pula pemberian nama kepada seorang anak dikaitkan pula dengan karakter
anak sesuai hari Daúavara-nya.
Agama Kristen dan Katholik memandang penting karakter seseorang.
Seperti terlihat pada 2 Tesalonika 3 : 6 – 12. Alkitab memberi contoh berbagai
macam profesi seperti: Abraham sebagai pengusaha, Yusuf sebagai kepala
pelayanan & perdana menteri, Samuel sebagai hakim, Daud sebagai gembala
& raja, Petrus sebagai nelayan, Lidia sebagai pedagang, Paulus dan Akhila
sebagai tukang tenda, Lukas sebagai dokter, Yesus sebagai tukang kayu.
Ketika seorang bekerja berarti dia membentuk tanggungjawab atas dirinya
sendiri. Rasul Paulus bekerja sebagai seorang tukang tenda untuk memenuhi
tanggungjawabnya terhadap dirinya sendiri, Tuhan dan jemaat. Jika malas bekerja
kita harus belajar dari semut yang bertanggungjawab kepada koloninya. Kita juga
bisa belajar dari seekor burung yang sepanjang hari mencari nafkah untuk anak-anaknya
di sarang (Amsal 6 : 6).
Tempat kerja adalah wadah yang cocok bagi kita untuk melatih kejujuran. Jujur berarti melakukan semuanya sebagaimana seharusnya.
Tempat kerja adalah wadah yang cocok bagi kita untuk melatih kejujuran. Jujur berarti melakukan semuanya sebagaimana seharusnya.
Agama Buddha juga
sangat menekankan pentingnya karakter. Seseorang hendaknya tidak berbuat jahat,
menambah kebaikan-kebaikan, menyucikan hati dan pikiran (Dhammapada: 183). Kebencian
tak akan berakhir jika dibalas dengan kebencian. Kebencian berakhir jika
dibalas dengan cinta kasih (Dhammapada:
183). Sopan santun wajib diterapkan kepada orang tua, guru, keluarga,
sahabat dan kawan-kawan, atasan atau majikan, dan pelayan/pekerja (Sutta Pitaka, Digha Nikaya 31).
Terdapat dua dharma sebagai pelindung dunia (lokapala-dhamma),
yakni Hiri dan Ottappa. Hiri adalah malu berbuat jahat dan Ottappa adalah takut akibat berbuat jahat. Jika setiap manusia di
dunia ini dapat mengamalkan dua ajaran ini, maka dunia akan damai (Anguttara Nikaya I:51). Empat sifat
luhur, yakni cinta kasih (metta), belas
kasih (karuna), simpati (mudita), dan
batin seimbang (upekkha). Digha Nikaya II
(196), III (220). Dhammasangani (262), Visudhimagga (320).
Hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim
Akbar, 2000) menunjukkan bahwa, kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan
orang lain (soft skill). Penelitian
ini mengungkapkan, kesuksesan ditentukan hanya sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil
dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft
skill daripada hard skill. Soft skill merupakan bagian keterampilan dari seseorang yang
lebih bersifat pada kehalusan atau sensitivitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di
sekitarnya. Mengingat soft skill
lebih mengarah kepada keterampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata
namun tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa dirasakan adalah perilaku sopan,
disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama, membantu orang lain dan
lainnya. Soft skill sangat berkaitan dengan karakter seseorang.
Menyadari pentingnya karakter, dewasa ini banyak pihak menuntut
peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada
lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena
sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat,
seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya.
Bahkan di kota-kota besar tertentu,
gejala tersebut telah sampai pada taraf
yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai
wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya
dalam pembentukan kepribadian peserta
didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
AGAR PESERTA DIDIK MEMILIKI KARAKTER MULIA SESUAI NORMA-NORMA AGAMA, HUKUM, TATA KRAMA, BUDAYA, DAN ADAT ISTIADAT, MAKA
PERLU DILAKUKAN PENDIDIKAN KARAKTER SECARA MEMADAI.
Tujuan pendidikan di SMP, termasuk pengembangan karakter, semestinya dapat dicapai melalui
pengembangan dan implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu
pada standar nasional pendidikan (SNP). Di dalam SNP telah secara jelas dijabarkan standar kompetensi
lulusan dan materi yang harus disampaikan kepada peserta didik. Karakter juga termasuk dalam materi yang harus
diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari. Yang menjadi masalah adalah bahwa selama ini pengembangan dan implementasi KTSP masih cenderung
terpusat pada pengembangan kemampuan intelektual.
Pada dasarnya telah dilakukan sejak lama, antara lain melalui integrasi
IMTAQ ke dalam pembelajaran, Pendidikan Budi Pekerti,
P4 (Pedoman Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) dan program-program lainnya.
Namun demikian pendidikan karakter di
sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau
nilai-nilai, dan belum secara optimal pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata
dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan
mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk
setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan
pendidikan. Grand design menjadi
rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian
pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga
dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan
dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan
karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif,
penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara
nyata. Pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan
dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih
operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
PENDIDIKAN KARAKTER HARUS DIINTEGRASIKAN KE DALAM PEMBELAJARAN PADA SETIAP MATA PELAJARAN. MATERI
PEMBELAJARAN PADA SETIAP MATA PELAJARAN PERLU DIBERI MUATAN DAN/ATAU DIKAITKAN
DENGAN NILAI-NILAI KARAKTER DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN DIPILIH UNTUK
MEMFASILITASI PESERTA DIDIK MELAKSANAKAN/ MENGINTERNALISASI NILAI-NILAI
TERSEBUT. DENGAN DEMIKIAN, PEMBELAJARAN NILAI-NILAI KARAKTER TIDAK HANYA PADA
TATARAN KOGNITIF, TETAPI MENYENTUH PADA INTERNALISASI.
Kegiatan
pembinaan kesiswaan yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan
salah satu wadah yang potensial untuk pendidikan karakter. Kegiatan pembinaan kesiswaan merupakan kegiatan
pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik
sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan
minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik
dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah.
Melalui kegiatan pembinaan kesiswaan siswa dapat difasilitasi mengembangkan karakter mereka.
Pendidikan karakter di sekolah juga harus dilaksanakan melalui pengelolaan sekolah. Ketika semua urusan
sekolah dari hari ke hari dikelola dengan dilandasi oleh pelaksanaan
nilai-nilai karakter, sekolah akan menjadi komunitas yang berkarakter. Sekolah
akan menjadi tempat di mana nilai-nilai karakter dilaksanakan dan sekolah akan
menjadi tempat bagi setiap peserta didik membiasakan berperilaku berkarakter.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan
seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter
diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan
pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi
nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku
sehari-hari.
Pendidikan karakter
pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu
nilai-nilai yang melandasi perilaku,
tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh
semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra
sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta
didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran
program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan
pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke
sekolah-sekolah lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan SMP
memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang
baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas,
pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat
diketahui terutama melalui pencapaian butir-butir Standar Kompetensi Lulusan oleh peserta didik yang meliputi
sebagai berikut:
1. Mengamalkan ajaran agama yang
dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2. Memahami kekurangan dan
kelebihan diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap percaya
diri;
4. Mematuhi aturan-aturan sosial
yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5. Menghargai keberagaman agama,
budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
6. Mencari dan menerapkan
informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis,
dan kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan
berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan belajar
secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9. Menunjukkan kemampuan
menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam
dan sosial;
11. Memanfaatkan lingkungan secara
bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai
kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi
terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan
budaya nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan
dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih,
sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
16. Berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan santun;
17. Memahami hak dan kewajiban
diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan
pendapat;
18. Menunjukkan kegemaran membaca
dan menulis naskah pendek sederhana;
19. Menunjukkan keterampilan
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris sederhana;
20. Menguasai pengetahuan yang
diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian
pendidikan karakter adalah terbentuknya
budaya sekolah, yaitu perilaku,
tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh
semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan
nilai-nilai tersebut.
Dasar
hukum dalam pembinaan pendidikan karakter antara lain:
- Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
- Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
- Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
- Permendiknas No 39 Tahun
2008 Tentang Pembinaan Kesiswaan
- Permendiknas Nomor 22
Tahun 2006 Tentang Standar Isi
- Permendiknas Nomor 23
Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan
- Rencana Pemerintah
Jangka Menengah Nasional 2010-2014
- Renstra Kemendiknas
Tahun 2010-2014
- Renstra Direktorat
Pembinaan SMP Tahun 2010 - 2014
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 13 Ayat (1) menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas
pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan
memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang
sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan
di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya
(70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika
dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya
sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam
lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi yang
maksimal dalam mendukung pencapaian
kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas
kerja orang tua yang relatif tinggi,
kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga,
pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik
ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil
belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan
tersebut adalah melalui pendidikan karakter secara terpadu di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar
peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan pemanfaatannya agar peningkatan
mutu hasil belajar, terutama pembentukan karakter peserta didik sesuai tujuan
pendidikan dapat dicapai.
Karakter menurut Pusat
Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti,
perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau
unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap
Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia
internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya
dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter
mengacu kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi, dan keterampilan.
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan
memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau
tingkah laku.
Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus
berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan
menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak
absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan
sekolah itu sendiri. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar
tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya),
tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama,
percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan
kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan.
Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat
dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab;
kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya
integritas.
Berdasarkan
pembahasan di muka dapat ditegaskan bahwa karakter merupakan perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat. Orang yang perilakunya
sesuai dengan norma-norma disebut insan berkarakter
mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan
tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat,
bertanggung jawab, cinta ilmu,
sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur,
menepati janji, adil, rendah hati, dan nilai-nilai
lainnya. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga
mampu bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut.
Menurut Elkind & Sweet (2004), pendidikan
karakter dimaknai sebagai: “… the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core
ethical values. When we think about the kind of character we want for our
children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care
deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in
the face of pressure from without and temptation from within”.
Pendidikan karakter adalah
segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta
didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini antara lain mencakup
keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan
materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter
memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang
baik, warga masyarakat, dan warga
negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang
baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial
tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh
budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena
itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di
Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur
yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat
tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan
formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya.
Berhubungan dengan pendekatan, sebagian
pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang
dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral
kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai.
Sebagian yang lain menyarankan
penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial
tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand
design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial
kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh
potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam
konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan
berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: olah
hati (spiritual and emotional
development), olah pikir (intellectual
development), olah raga dan kinestetik
(physical and kinaesthetic development), dan olah rasa dan karsa (affective
and creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan
sebagai berikut.
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori
tentang pendidikan karakter. Menurut Hersh,
et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang
banyak digunakan; yaitu pendekatan pengembangan rasional, pendekatan
pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral
kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut,
Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai
teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan
afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi tersebut
didasarkan pada tiga
unsur moralitas, yang biasa menjadi
tumpuan kajian psikologi, yakni:
perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan
bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan
secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,
dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat.
Berdasarkan kajian
nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum,
etika akademik, prinsip-prinsip HAM, SKL SMP, dan SK/KD semua mata pelajaran SMP, telah teridentifikasi lebih dari 80 butir nilai karakter yang
dikelompokkan menjadi lima, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan (1) Tuhan Yang
Maha Esa, (2) diri sendiri, (3) sesama
manusia, dan (4) lingkungan, serta (5) kebangsaan. Namun demikian, penanaman semua nilai
tersebut merupakan hal yang sangat sulit. Oleh karena itu, pada tingkat SMP
dipilih 24 nilai karakter utama yang disarikan dari butir-butir SKL SMP (Permen
Diknas nomor 23 tahun 2006), SK/KD (Permen Diknas nomor 22 tahun 2006), dan
jiwa kewirausahaan. Berikut adalah daftar 24 nilai utama yang
dimaksud dan deskripsi
ringkasnya.
1. Kereligiusan
Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang
diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran
agamanya.
2.
Kejujuran
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,
dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain.
3.
Kecerdasan
Kemampuan seseorang
dalam melakukan suatu tugas secara cermat, tepat, dan cepat.
4.
Ketangguhan
Sikap dan perilaku
pantang menyerah atau tidak pernah putus asa ketika menghadapi berbagai
kesulitan dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehingga mampu mengatasi
kesulitan tersebut dalam mencapai tujuan.
5.
Kedemokratisan
Cara berfikir,
bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang
lain.
6.
Kepedulian
Sikap dan tindakan yang
selalu berupaya mencegah dan memperbaiki penyimpangan dan kerusakan (manusia,
alam, dan tatanan) di sekitar dirinya.
7.
Kemandirian
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung
pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8.
Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
Berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan
atau logika untuk menghasilkan cara atau
hasil baru dan termutakhir dari apa yang
telah dimiliki.
9.
Keberanian mengambil risiko
Kesiapan menerima
risiko/akibat yang mungkin timbul dari tindakan nyata.
10. Berorientasi pada tindakan
Kemampuan untuk
mewujudkan gagasan menjadi tindakan nyata.
11. Berjiwa kepemimpinan
Kemampuan mengarahkan
dan mengajak individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dengan berpegang pada
asas-asas kepemimpinan berbasis budaya bangsa.
12. Kerja keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan guna
menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
13. Tanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan
YME.
14. Gaya hidup sehat
Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik
dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat
mengganggu kesehatan.
15. Kedisiplinan
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
16. Percaya diri
Sikap
yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.
17.
Keingintahuan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan
didengar.
18. Cinta ilmu
Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
19. Kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
Sikap tahu
dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan
orang lain serta tugas/kewajiban
diri sendiri serta orang lain.
20. Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial
Sikap
menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat
dan kepentingan umum.
21. Menghargai karya dan prestasi orang
lain
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
22. Kesantunan
Sifat yang
halus dan baik dari sudut pandang tata
bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
23.
Nasionalisme
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
24.
Menghargai keberagaman
Sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai
macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
Di antara butir-butir
nilai tersebut di atas, enam butir dipilih sebagai nilai-nilai pokok sebagai
pangkal tolak pengembangan, yaitu:
1. Kereligiusan
2. Kejujuran
3. Kecerdasan
4. Ketangguhan
5. Kedemokratisan
6. Kepedulian
Keenam butir nilai tersebut ditanamkan
melalui semua mata pelajaran dengan intensitas penanaman lebih dibandingkan
penanaman nilai-nilai lainnya.
Pengembangan atau
pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah
dan stakeholders-nya untuk menjadi
pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah. Tujuan pendidikan
karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik (insan
kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta
didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang
terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup.
Masyarakat juga berperan membentuk karakter anak melalui orang tua dan
lingkungannya.
Karakter dikembangkan
melalui tahap pengetahuan, pelaksanaan, dan kebiasaan. Karakter tidak terbatas
pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu
mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi
kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah
emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter
yang baik (components of good character)
yaitu moral knowing (pengetahuan
tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang
moral, dan moral action atau
perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga
sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat
memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai
kebajikan (moral).
Dimensi-dimensi yang
termasuk dalam moral knowing yang
akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral, pengetahuan tentang
nilai-nilai moral, penentuan sudut pandang, logika moral, keberanian mengambil
sikap, dan pengenalan diri. Moral feeling
merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia
berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus
dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri, percaya diri,
kepekaan terhadap derita orang lain, cinta kebenaran, pengendalian diri,
kerendahan hati. Moral action
merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil dari dua komponen
karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan
yang baik maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi,
keinginan, dan kebiasaan.
Pengembangan karakter
dalam suatu sistem pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen
karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau
bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai
perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap
Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia
internasional (lihat Diagram 1).
Diagram 1. Keterkaitan
komponen moral dalam pembentukan karakter
Kebiasaan berbuat baik
tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar
menghargai pentingnya nilai karakter. Karena mungkin saja perbuatannya tersebut
dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya
penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika seseorang berbuat jujur hal itu
dilakukan karena dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus
untuk mengharagi nilai kejujuran itu sendiri. Oleh karena itu dalam pendidikan
karakter diperlukan juga aspek perasaan. Komponen ini dalam pendidikan karakter
disebut dengan “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat kebaikan.
Pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek
“knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring
the good” atau “loving the good” (moral
feeling), dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia
akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham. Dengan
demikian jelas bahwa karakter dikembangkan melalui tiga langkah, yakni mengembangkan moral
knowing, kemudian moral feeling, dan
moral action. Dengan kata lain, makin lengkap komponen moral dimiliki
manusia, maka akan makin membentuk karakter yang baik atau unggul/tangguh.
Pengembangan karakter sementara ini direalisasikan
dalam pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran lainnya, yang
program utamanya cenderung pada pengenalan nilai-nilai secara kognitif, dan
mendalam sampai ke penghayatan nilai secara afektif. Menurut Mochtar Buchori
(2007), pengembangan karakter seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai
secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai
secara nyata. Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa batin yang amat penting
yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan yang sangat kuat
(tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut Conatio, dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini
disebut langkah konatif. Pendidikan karakter mestinya mengikuti langkah-langkah
yang sistematis, dimulai dari pengenalan nilai secara kognitif, langkah
memahami dan menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad
secara konatif. Ki Hajar Dewantoro menterjemahkannya dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.
Pendidikan karakter harus
didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Mempromosikan nilai-nilai dasar
etika sebagai basis karakter
2.
Mengidentifikasi karakter secara
komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku
3.
Menggunakan pendekatan yang
tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
4.
Menciptakan komunitas sekolah
yang memiliki kepedulian
5.
Memberi kesempatan kpeada peserta
didik untuk menunjukkan perilaku yang baik
6.
Memiliki cakupan terhadap
kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta didik,
membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses
7.
Mengusahakan tumbuhnya motivasi
diri pada para peserta didik
8.
Memfungsikan seluruh staf sekolah
sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter
dan setia pada nilai dasar yang sama
9.
Adanya pembagian kepemimpinan
moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter
10. Memfungsikan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter
11. Mengevaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan
manifestasi karakter posisitf dalam kehidupan peserta didik.
Pendidikan karakter secara terpadu di SMP
dilaksanakan melalui proses pembelajaran, manajamen sekolah, dan kegiatan
pembinaan kesiswaan.
1. Pendidikan karakter secara
terpadu dalam pembelajaran
Pendidikan karakter
secara terpadu di dalam pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi
diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian
nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses
pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua
mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan
peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang
untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan
menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
Dalam struktur kurikulum
SMP, pada dasarnya setiap mata pelajaran memuat materi-materi yang berkaitan
dengan karakter. Secara subtantif, setidaknya terdapat dua mata pelajaran yang
terkait langsung dengan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia, yaitu
pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Kedua mata pelajaran
tersebut merupakan mata pelajaran yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan
nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan
menginternalisasi nilai-nilai. Integrasi pendidikan karakter pada mata-mata
pelajaran di SMP mengarah pada internalisasi nilai-nilai di dalam tingkah laku
sehari-hari melalui proses pembelajaran dari tahapan perencanaan, pelaksanaan,
dan penilaian.
2.
Pendidikan karakter secara terpadu melalui manajemen sekolah
Menurut H. Koontz & O’Donnel (Aldag, 1987), manajemen berhubungan dengan pencapaian suatu tujuan yang
dilakukan melalui dan dengan orang lain. Hampir senada dengan pendapat
tersebut, Siregar (1987) menyatakan
bahwa manajemen adalah proses yang membeda-bedakan atas perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan pelaksanaan dan pengendalian, dengan memanfaatkan
ilmu dan seni, agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Manajemen juga
didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki tujuan bersama dan bekerja
sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam manajemen terkandung pengertian pemanfaatan sumberdaya untuk
tercapainya tujuan. Sumberdaya adalah unsur-unsur dalam manajemen, yaitu
manusia (man), bahan (materials),
mesin/peralatan (machines),
metode/cara kerja (methods), modal
uang (money), informasi (information). Sumberdaya bersifat terbatas, sehingga
tugas manajer adalah mengelola keterbatasan sumber daya secara efisien dan
efektif agar tujuan tercapai.
Proses manajemen adalah proses yang berlangsung terus menerus, dimulai
dari: membuat perencanaan dan pembuatan keputusan (planning);
mengorganisasikan sumberdaya yang dimiliki (organizing); menerapkan kepemimpinan untuk menggerakkan sumberdaya (actuating); melaksanakan pengendalian (controlling). Proses di atas sering disebut dengan
pendekatan Barat dengan konsep POAC (Planning-Organizing-Actuating-Controlling), berbeda dengan pendekatan Jepang yang
dikenal dengan pendekatan PDCA (Plan-Do-Check-Action). Dalam konteks dunia pendidikan, yang dimaksudkan dengan manajemen
pendidikan/sekolah adalah suatu proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pendidikan dalam upaya untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan visi,
misi, dan tujuan pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan pada uraian sebelumnya, keterkaitan
antara nilai-nilai perilaku dalam komponen-komponen moral karakter (knowing, feeling, dan action) terhadap
Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, kebangsaan, dan keinternasionalan
membentuk suatu karakter manusia yang unggul (baik). Penyelenggaraan pendidikan
karakter memerlukan pengelolaan yang memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan
adalah bagaimana pembentukan karakter dalam pendidikan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan secara memadai.
Sebagai suatu sistem pendidikan, maka dalam
pendidikan karakter juga terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang selanjutnya
akan dikelola melalui bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian.
Unsur-unsur pendidikan karakter yang akan direncanakan,
dilaksanakan, dan dikendalikan tersebut antara lain meliputi: (a)
nilai-nilai karakter kompetensi lulusan, (b) muatan kurikulum nilai-nilai
karakter, (c) nilai-nilai karakter dalam pembelajaran, (d) nilai-nilai karakter pendidik dan tenaga
kependidikan, dan (e) nilai-nilai karakter
pembinaan kepesertadidikan.
Beberapa contoh bentuk kegiatan pendidikan
karakter yang terpadu dengan manajemen sekolah antara lain: (a) pelanggaran
tata tertib yang berimplikasi pada pengurangan nilai dan hukuman/pembinaan, (b)
penyediaan tempat-tempat pembuangan sampah, (c) penyelenggaraan kantin
kejujuran, (d) penyediaan kotak saran, (d) penyediaan sarana ibadah dan
pelaksanaan ibadah, misalnya: shalat dhuhur berjamaah, (e) Salim-taklim (jabat
tangan) setiap pagi saat siswa memasuki gerbang sekolah, (f) pengelolaan &
kebersihan ruang kelas oleh siswa, dan bentuk-bentuk kegiatan lainnya.
3. Pendidikan karakter secara
terpadu melalui kegiatan pembinaan kesiswaan
Kegiatan
pembinaan kesiswaan adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan
peserta didik sesuai dengan kebutuhan,
potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus
diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan
dan berkewenangan di sekolah.
Visi kegiatan pembinaan kesiswaan adalah
berkembangnya potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya
kemandirian dan kebahagiaan peserta didik
yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Misi kegiatan
pembinaan kesiswaan adalah (1) menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih
oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi,
bakat, dan minat mereka; (2) menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan peserta didik mengeskpresikan diri secara bebas melalui kegiatan mandiri
dan atau kelompok.
Fungsi Kegiatan
pembinaan kesiswaan meliputi:
a. Pengembangan, yaitu fungsi kegiatan
pembinaan kesiswaan untuk mengembangkan kemampuan
dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat
mereka.
b. Sosial, yaitu fungsi kegiatan pembinaan kesiswaan untuk
mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.
c. Rekreatif, yaitu fungsi kegiatan
pembinaan kesiswaan untuk mengembangkan suasana rileks, mengembirakan
dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.
d. Persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan pembinaan kesiswaan untuk mengembangkan
kesiapan karir peserta didik.
Selanjutnya fungsi
Kegiatan pembinaan kesiswaan meliputi:
a. Individual, yaitu prinsip kegiatan
pembinaan kesiswaan yang sesuai dengan potensi, bakat dan minat peserta
didik masing-masing.
b. Pilihan, yaitu prinsip kegiatan
pembinaan kesiswaan yang sesuai dengan keinginan dan diikuti secara
sukarela peserta didik.
c. Keterlibatan aktif, yaitu prinsip kegiatan pembinaan kesiswaan yang menuntut
keikutsertaan peserta didik secara penuh.
d. Menyenangkan, yaitu prinsip kegiatan pembinaan kesiswaan dalam suasana yang disukai dan mengembirakan peserta didik.
e. Etos kerja, yaitu prinsip kegiatan
pembinaan kesiswaan yang membangun semangat peserta didik untuk bekerja
dengan baik dan berhasil.
f. Kemanfaatan sosial, yaitu prinsip kegiatan pembinaan kesiswaan yang dilaksanakan untuk
kepentingan masyarakat.
Untuk lebih lenkgap klik Pedoman Pendidikan Karakter di SMP, MTs
0 comment:
Posting Komentar